Integrasi Teologi dan Psikologi

Saya tidak pernah mempersiapkan diri atau sengaja  memikirkan isu-isu yang berhubungan dengan integrasi antara Teologi dan Psikologi. Inisiatif untuk bersentuhan dengan topik tersebut justru bukan terstimulasi melalui wadah-wadah yang sudah ada melalui kuliah-kuliah yang disediakan di kampus. Keinginan untuk memikirkan tentang topik tersebut justru terstimulasi melalui pengalaman dan pemikiran pribadi. Tentu jangan terjemahkan pengalaman pribadi disini adalah pengalaman pribadi yang saya alami, yang sering orang lain pahami sebagai pengalaman dimana saya sedih, senang, stress ketika sedang mengalami suatu masalah. Pengalaman pribadi yang saya maksudkan adalah sebuah refleksi atas apa yang saya minati.

Saya memiliki minat untuk memahami akan isu-isu kekerasan dalam hubungan personal (Intimate Partner Relationship). Minat ini berawal ketika saya duduk di tahun-tahun terakhir ketika menempuh pendidikan S1 saya. Sekalipun belum memiliki pengalaman terjun langsung di kehidupan nyata dengan isu-isu tersebut, namun pemahaman kognitif tentang isu tersebut semakin hari semakin bertambah. Hingga pada kesempatan kali ini saya memiliki kesempatan untuk mengangkat kembali isu tersebut dalam Thesis saya. Setelah perdebatan yang panjang dan alot, untuk tahap ini saya diberikan kesempatan oleh dosen untuk mempresentasikan kerangka kasar tulisan saya. Konteks ini membawa saya untuk masuk dalam perjalanan yang lebih jauh yang saya belum tahu dimana akan berakhir.

Perjalanan yang jauh ini, sekalipun belum menemukan titik akhirnya, setidaknya saya tahu bermula dimana. Sekalipun tentu titik permulaan ini sudah didahului oleh pengalaman-pengalaman sebelumnya. Namun ijinkanlah saya untuk melihat konteks pembimbingan proposal saya sebagai awal dimana perjalanan ini dimulai.

Dengan judul "Pengaruh Antisocial Personality Disorder terhadap Intimate Partner Violence" saya memulai pembimbingan proposal thesis saya. Outline kasar yang ditawarkan oleh pembimbing saya, sungguh menggugah saya. Pertanyaan tersebut membawa saya pada pertanyaan-pertanyaan selanjutnya…Apakah perbedaan esensi antara keluarga Kristen dengan keluarga non-Kristen. Jika kebahagiaan, keharmonisan, kesetiaan, bukanlah monopoli dari keluarga-keluarga Kristen. Menjadi orang Kristen tidak membuat kita memonopoli kebahagiaan di dunia. Jika tidak berbeda dalam kebahagiaan, keharmonisan, dan kesetiaan, tentu menjadi keluarga Kristen juga tidak membuat kita imun dari keluarga yang difungsi, perselingkuhan, dan kekerasan. Khusus dalam point terakhir, yaitu dalam hal kekerasan inilah yang membuka mata saya.

Kekerasan dalam rumah tangga tentu bisa terjadi pada siapa saja, tidak ada syarat atau penangkal mutlak yang membuat kita bebas dari hal tersebut. Kemungkinan untuk terjadi dalam keluarga kita bukanlah hal yang aneh. Terlebih ketika saya mengangkat bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi kekerasan adalah kepribiadian yang abnormal, dalam hal ini adalah Antisocial Personality Disorder. Gangguan kepribadian yaang seringkali berhubungan erat dengan kejahatan dan tindak kriminal ini, tentu juga dapat dimiliki oleh siapapun. Terlepas suku, golongan, atau agama yang dianut oleh seseorang. Lalu jika Kekristenan tidak membuat kita bebas dari hal-hal yang tidak menyenangkan dan menyeramkan, lalu apakah yang membedakan kita. Lalu apakah inti atau esensi dasar dari iman kita. Terlebih lagi, jika kombinasi terburuk tersebut, yaitu kekerasan dalam rumah tangga akibat antisoscial personality terjadi dalam keluarga Kristen, bagaimana kita melihat hal tersebut? Bagaimana saya dan kita semua menjawab hal tersebut?

Psikologi mungkin dapat memberikan penjelasan yang komprehensif mengenai hubungan dan pengaruh kedua hal tersebut. Namun, jika saya menuntut lebih dari sekedar penjelasan namun jawaban atas realitas yang terjadi, apakah psikologi cukup menjawab kebutuhan tersebut. Seandainya saya memulai dengan berandai-andai dua kemungkinan tersebut. Pertama, jika jawabannya adalah ya, dimana seandainya teori dan psikoterapi dapat berhasil menjawab dan memulihkan keadaan, baik situasi keluarga, kondisi mental suami, istri, dan anak-anak, apakah itu cukup untuk menjawab semuanya? Apakah artinya kita tidak membutuhkan lagi kekristenan guna melihat konteks ini.

Dan jika yang sebaliknya terjadi, dan ini yang pada kenyataannya lebih banyak kita alami, dimana teori-teori psikologi, psikoterapi, dan pendekatan konseling apapun ternyata belum sepenuhnya berhasil menjawab pergumulan kita, khususnya keluarga-keluarga dengan kekerasan, apakah baru pada titik ini kita mencoba melirik kekristenan sebagai alat atau opsi lain untuk  menjawab dan mengubah kondisi buruk ini.

Lalu pertanyaan selanjutnya adalah dimanakah posisi iman ktia dalam konteks ini? Apakah yang membedakan antara iman kita kepada Kristus dan yang lain? Pada titik ini saya berhenti.

Sekalipun saya harus berhenti pada titik yang tidak sempurna, yaitu pertanyaan yang tidak terjawab. Namun melalui pengalaman ini setidaknya saya tahu, bahwa integrasi Teologi dan Psikologi yang saya butuhkan tidak hanya sebatas pada integrasi dalam batas teoritis, metodologis, ataupun psikoterapi praktis yang hanya memuaskan tuntutan moral sebagai seorang Kristen ataupun sekedar cara agar kita terbebas dari permasalahan hidup. Kita…setidaknya saya membutuhkan sebuah integrasi yang hidup dan dirasakan.

Sebuah ulasan buku tentang karya Krik E. Farnsworth, berjudul "Wholehearted Integration: Harmonizing Psychology and Christianity Through Word and Deed", yang ditulis oleh seorang dosen saya, membawa saya mengerti bahwa apa yang saya pikirkan saat ini, adalah sebuah kerinduan yang nyata akan terjadi emobodied integration antara Kekristenan dan Psikologi. Bahasa yang terlalu teknis pada buku dan ulasan buku yang dituliskan oleh orang-orang jenius tersebut membuat kesan yang begitu "menyeramkan" dari sebuah pesan yang indah. Setidaknya seperti inilah embodied integration ketika diterjemahkan dalam pengalaman pribadi dan bahasa yang lebih sederhana. Saya tahu bahwa integrasi bukanlah sebuah pilihan, namun jalan dimana kita seharusnya berjalan.

Lalu apa yang hendak saya  capai dari tulisan ini: Pertama, sebagai sarana untuk menuangkan apa yang saya pikirkan. Mungkin untuk orang-orang yang menjadi pakar dalam isu-isu tersebut, bisa saja pemikiran saya adalah pemikiran ngawur yang tidak sesuai dengan apa yang mereka telah lama hidupi. Saya tidak berusaha membela diri, seandainya memang itulah yang terjadi. Pemikiran ini adalah sebuah ide prematur dan baru bagi saya, saya menuliskannya sebatas menghargai apa yang saya pikirkan, jika refleksi saya adalah suatu yang berkenan tentu ia akan menemukan jalan untuk semakin dipertajam. Namun kemungkinan tersebut tidak akan datang, jika tidak dimanifestasikan dalam sebuah tulisan awal.

Hal kedua, konteks pribadi saya sebagai salah satu contoh nyata, untuk menghidupi integrasi yang hidup akan dua displin ilmu ini. Nyata, dalam arti tidak hanya pada batasan pemikiran teoritis namun realistis, bukan sekedar wacana kognitif namun haruslah sesuatu yang aplikatif, juga tidak harus dipenuhi dengan spirit ketakutan karena selalu dibahasakan dalam bahasa ilmiah dan istilah-istilah teknis yang sulit dipahami, namun dapat dimengerti dengan bahasa yang sederhana sehingga memiliki kesempatan untuk dihidupi. Tentu ini tidak boleh membuat kita anti terhadap para intelektualis, namun bukan berarti tidak menyentilnya. Bukankah lebih indah menghidupi bahasa yang sederhana, dibandingkan mengatakan perkataan yang kita sendiri tidak mengerti sehingga sulit kita hidupi. Jika anda dapat memahami pesan saya, dengan menghidupinya dalam konteks pribadi dan keunikan anda pribadi, jangan sungkan untuk menyingkirkan konteks pribadi saya. Apa yang works untuk saya tentu tidak selamanya work untuk anda.

Hal ketiga, adalah sebagai pembuka sarana diskusi dan belajar, jika teman-teman pernah menggumuli pertanyaan dalam konteks yang sama dengan yang saya pikirkan.

Komentar

  1. Apri, topiknya bagus. Kk pernah bertanya2 soal ini juga. update terus yaaa hehehhe. SEMANGATTT!!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Balada Rajawali kepada Seekor Camar

The last day in UKRIDA