I'm the Winner too...

Kala ku lihat piala yang mereka angkat
Tak dapat kulepas pandanganku dari piala tersebut.
Saat ku lihat medali yang tergantung indah di leher mereka
Tak dapat kualihkan cahaya berkilau medali itu dari mataku
Ketika ku lihat setiap nama dan keberhasilan yang terukir indah dalam piagam yang mereka genggam
Tak dapat kuhentikan debaran jantungku yang berdetak keras karena rasa amarah kekecewaan.

Lalu ku lihat tangan kananku, tak kudapati piala disana.
Ketika ku tengok tangan kiriku, tak kudapati piagam penghargaan di sana.
Kuangkat kedua tanganku, dan kupegang dadaku, tak kusentuh medali berkilau di sana.

Aku berteriak sekencang mungkin kepada Sang Penyelenggara Pertandingan Kehidupan.
Mengapa, mengapa, mengapa Tak Kau ijinkan aku memiliki salah satu diantaranya?
Bukankah aku dan mereka mengawali titik yang sama?
Bukankah aku berlari lebih cepat dari mereka?
Bahkan aku masih melihat mereka berada beberapa langkah dibelakangku.
Namun, mengapa Kau bukakan jalan, sehingga mereka lebih cepat sampai di ujung jalan? Mengapa?
Apakah aku tidak layak menerima Anugerah yang sama yang telah Kau berikan kepada mereka?

Aku berhenti berlari dan menangis.
Aku menangis bagaikan seorang anak kecil yang telah memahami arti ketidakadilan.
Lalu, Sang Penyelenggara berhenti dan duduk bersamaku
Berkata lembut dan menyemangatiku.

Darimanakah kau dapatkan pikiran bahwa Aku adalah Tuhan yang tidak adil?
Bagaimanakah kau dapat menilai bahwa Aku adalah Tuhan yang meninggalkanmu?
dan Bagaimana kau dapat berpikir bahwa Anugerah yang kuberikan didasari usaha dan kelayakanmu?

Aku adalah Tuhan yang Adil.
Aku adalah Tuhan yang setia dan tak pernah jauh daripadamu
dan Aku memberikan anugerahKu karena AKU adalah TUHAN.

Saat Ia berkata lembut, matakupun terbuka.
Ia adalah teman yang ada bersama denganku saat tak ada teman yang mau mengayuh ayunan saat aku TK.

Ia pun bersamaku saat aku pulang seorang diri, menapaki jalan panjang di sore hari dengan
pertanyaan besar tak terjawab saat aku SD.

Ia adalah sahabat yang memelukku saat masa remaja begitu menghancurkanku saat teman-teman meninggalkanku. Saat gambar diriku kutempelkan dengan keadaan fisik yang buruk, teman-teman
yang tidak ada disampingmu, pakaian dan gaya hidup yang menggambarkan dirimu, bahkan orang-orang
terdekat yang meninggalkanmu karena engkau muncul sebagai pemberontak muda, liar, dan tak terkendali.

Ia menemaniku menemukan orang-orang baru yang mengasihiku, meyakinkanku bahwa masih ada kesempatan kedua untuk setiap kegagalan. Ia yang memberikan suara dalam hatimu akan rancanganNYA dan PilihanNya agar aku memilih Jalan Jiwa saat kumasuki bangku kuliah.

Ia adalah Bapa yang mengirimkan aku pada tempat dimana Ia hendak menyatakan kasihNya kepadaku.
Disana aku bertemu dengan








Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Balada Rajawali kepada Seekor Camar

Integrasi Teologi dan Psikologi

The last day in UKRIDA